MajalahCSR.id – Manusia sudah membuat material dari kulit selama lebih dari 7.000 tahun. Hingga hari ini, bahan kulit merupakan material yang serba guna dan terkenal kuat. Namun, meningkatnya jumlah konsumen mendorong upaya pencarian sumber material kulit non hewan karena kekhawatiran etik dan ancaman ketidakstabilan lingkungan.
Konsekuensi lingkungan dari teknik proses terkini menjadikan produsen mengkreasikan bahan lain yang lebih hijau. Diantara mereka adalah ilmuwan di VTT Technical Research Center, Finlandia. Mengutip Intelligentliving, mereka berhasil menyempurnakan material alternatif kulit dari tanaman jamur. Yang menarik, mereka juga memperlihatkan kreasi kulit ramah lingkungan ini dalam bentuk lembaran tersambung untuk skala kebutuhan industri.
Produksi kulit konvesnisonal (dari kulit hewan) sangat membebani lingkungan, dengan jejak karbon mencapai 130 juta ton per tahun. Selain itu, membutuhkan lahan yang tak sedikit, air, dan energi untuk kebutuhan operasional peternakan sebagai sumber bahan baku. Dalam tahap proses pembuatan materialnya pun ada dampak lingkungannya, yaitu penggunaan bahan kimia beracun.
Di sisi lain, bahan kulit substitusi dari material sintetis memang bisa menghindari isu seputar pemakaian produk hewan, namun tetap saja ada pengaruh buruk pada alam, yaitu membutuhkan bahan kimia yang nyata-nyata sulit terurai di alam. Tak ada bedanya dengan produk dari plastik sintetis.
Beruntungnya, pasar komoditas kulit mulai melirik bahan yang lebih bersifat “keberlanjutan”, bebas plastik, dan lebih alami untuk menghindari beragam masalah dampak di atas. Tahun lalu, dua bersaudara wanita dari Kanada memproduksi bahan kulit dari limbah kulit apel, lalu ada dua orang Meksiko yang sukses mengembangkan material kulit dari tanaman kaktus. Kini, alternatif material dari jamur mulai digunakan.
Tim VTT mengambil benang serabut dari mycelium, material organik yang keluar di tanah yang menunjang pertumbuhan jamur. Menggunakan biomas ini unutk memproduksi kain dan tekstil memang sudah dilakukan dan bukan hal baru. namun, para pakar di VTT telah menyempurnakan prosesnya untuk menciptakan bahan yang sangat mirip kulit hewan dengan tekstur dan kekuatan yang sama.
“Fisik material ini sungguh terlihat, terasa, dan sekuat kulit hewan. Bisa diwarnai dan diberi motif juga, tanpa perlu menambahkan bahan (kimia) lain,” kata Géza Szilvay, ilmuwan senior di VTT Senior Scientist.
Pada 2019 lalu, untuk pertama kali tim riset mengungkapkan proses dan hasilnya. Namun, masih ada kendala yaitu memenuhi kebutuhan skala industri. Hal ini disebabkan terbatasnya budidaya mycelium atau jamur, sehingga bentuk akhirnya hanya lembaran-lembarang tunggal saja. Unutk mengatasinya, Tim VTT mengembangkan paten teknologi yang mengandalkan fermentasi cair dalam bioreactor standard yang meningkatkan proses untuk memenuhi level skala industri.
Teknologi dari VTT ini memungkinkan pabrik meneruskan produksi material kulit jamur yang lebih massif, di mana lembaran kulit rata-rata dihasilkan hingga satu meter per menit. Pendekatan teknologi ini dapat diaplikasikan pada pabrik yang menghasilkan bentuk lembaran berkelanjutan. Menurut informasi tim sedang menganalisis kualitas sejumlah produk dari material ini, seperti asesoris, alas kaki, dan garmen.