Jakarta, MajalahCSR.id – Dunia kini tengah berupaya mencapai kondisi emisi netral alias net-zero emissions, atau bahkan bila memungkinkan menjadi emisi negative. Ini dilakukan agar terhindar dari terjadinya perubahan iklim yang ekstrim di masa depan. Tapi pertanyaannya, teknologi seperti apa yang benar-benar bisa mewujudkan hal tersebut?
Aksi iklim kini tak lagi sekedar narasi teori di atas kertas, melainkan sudah menjadi gerakan global. Namun, gerakan yang dilakukan tersebut dikhawatirkan tak cukup mampu memenuhi target seperti yang digaungkan oleh perjanjian Paris atau Paris Agreement. Targetnya adalah sebisa mungkin kenaikkan suhu bumi harus di bawah 1,5 derajat Celsius.
Melansir tulisan Laura Cowan yang dipublikasikan oleh Inhabitat, agar bisa mencapai target tersebut, bidang teknologi harus cepat berkembang untuk agar bisa melakukan dekarbonisasi dan penangkapan karbon. Agar lebih memahami bagaimana teknologi bisa memitigasi perubahan iklim, inilah deretan sektor teknologi yang disebut bisa membantu, yaitu teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon, bahan bakar hayati dan energi bersih, teknologi penyimpanan energi dan baterai, dan teknologi pengawasan dan pengukuran energi.
Target rentang waktu terkini adalah tahun 2050 merupakan batas waktu maksimal untuk memperbaiki kerusakkan lingkungan akibat eksploitasi industri selama 100 tahun. Kabar buruknya, rentang waktu tersebut bukan perkara mudah untuk dibenahi oleh teknologi konvensional. Menerapkan semua teknologi di atas diklaim bisa mendorong tercapainya emisi netral dan bisa dipercaya untuk mengatasi krisis ketidakcukupan waktu yang tersisa. Di bawah ini adalah penjelasannya.
Teknologi penangkap karbon
Penangkap karbon bisa jadi sesederhana saringan dalam cerobong asap pabrik, atau serumit menanam hutan untuk kembali menangkap karbon yang terlepas ke udara. Teknologi penangkap karbon sudah dikembangkan lebih dari 50 tahun. Namun akhir-akhir ini makin marak digunakan, dengan 70% di antaranya diterapkan di lingkup industri minyak dan gas, seperti laporan dari Institute of Energy Economics and Financial Analysis.
Fakta ini seperti sebuah kemajuan. Namun demikian, hanya 300 juta ton karbon yang sudah benar-benar ditangkap di seluruh dunia. Artinya, hanya segelintir kecil saja dari yang sudah ditargetkan dalam perjanjian Paris. Teknologi ini (jika benar-benar efektif) membutuhkan investasi infrastruktur yang mumpuni, seperti jaringan pipa dan fasilitas penyimpanan. Alhasil, bukan perkara mudah karena punya kompetitor prioritas investasi lain yang sama-sama berupaya memitigasi perubahan iklim.
Bahan bakar hayati dan “powerfuel”
Powerfuel adalah sumber energi hasil sintetik baik berupa gas atau cairan. Contohnya adalah hydrogen, metana, propana, dan bahan bakar cair sintetis. Sementara itu biofuel atau bahan bakar hayati materialnya berasal dari pabrik pengolahan, seperti pabrik etanol yang berasal dari jagung, atau biodiesel dari material limbah.
Sumber energi di atas dapat jadi alternatif yang lebih bersih untuk minyak dan gas. Tetapi di samping kemunculan potensi, ada hambatan lain dari pengembangannya. Penggunaan biofuel memunculkan masalah bagi suplai pangan seperti jagung karena materialnya juga dibutuhkan di industri pangan.
Hal yang menarik dari keberadaan powerfuel atau biofuel adalah menciptakan solusi sirkular dari limbah. Ini menyelesaikan krisis limbah makanan dan plastik yang di saat bersamaan ada sumber energi lain untuk bahan bakar. Bahkan keberadaannya tak menciptakan beban biaya kecuali di produksi, yang mana makin menurun seiring perkembangan teknologinya yang kian maju.
Powerfuel seperti hydrogen dan amonia bisa membantu mengurangi dampak karbon pada sektor yang sulit untuk dielektrifikasi. Industri tersebut di antaranya penerbangan, kapal pegiriman di laut, pabrik baja, semen, dan kimia. Lebih dari 80% energy global masih disuplai oleh energy fosil. Alhasil, masih banyak celah untuk pihak-pihak yang ingin terlibat dalam pengurangan karbon di dunia, akibat bahan bakar fosil di sektor industry.
Tenaga Surya, Angin, dan Teknologi Baterai
Energi terbarukan menjadi topik lain dalam soal energi yang aman dan hijau. Teknologi angin dan surya (terutama yang di belahan barat) sudah makin maju dan lebih murah dalam produksi dibandingkan energi fosil. Isu ini mendorong banyak pembangkit listrik (di dunia barat) mulai beralih pada energi bersih ini, yang mana proses peralihannya masih berlangsung.
Harga gas dan minyak yang meroket mendorong perubahan yang makin cepat, namun teknologi ini masih membutuhkan kapasitas penyimpanan energi masif yang mumpuni. Para pemilik rumah bisa saja memasang pembangkit listrik sendiri semacam tenaga surya, meskipun biaya panel surya masih tergolong mahal (untuk ukuran rumah tangga).
Dengan ongkos yang makin efisien pada sel surya dan baterai skala rumah, pemilik bisa meningkatkan kontribusi energi bersih pada pembangkit. Selain itu, kebutuhan puncak energy seperti saat malam untuk kebutuhan listrik rumah, bahkan kendaraan listrik. Upaya lokal ini sebaiknya mendapat insentif dari pemerintah seperti penyediaan baterai sebagai penyimpan energi.
Kebutuhan untuk mengadopsi dan memperbanyak penyediaan energi tenaga angin dan surya bisa lebih mudah daripada tenaga air, panas bumi, dan nuklir, yang membutuhkan investasi lebih lama. Roadmap badan energy dunia atau International Energy Agency untuk net zero pada 2050 mendatang, menegaskan dukungan untuk memperbesar kapasitas pembangkit tenaga surya dan angina pada dekade ini. Salah satunya dengan meningkatkan tiga kali lipat jumlah pembangkit teknologi tenaga angin dan surya pada 2030 sejak 2020. Atap panel tenaga surya dan turbin angin kecil dapat membantu kota untuk mencapai karbon netral atau net zero emissions.
Teknologi Pintar untuk Mengukur Energi demi Kemajuan Penanganan Iklim
Efisiensi energy biasanya dilihat sebagai upaya membatasi dengan mengurangi kebutuhan. Menurut studi McKinsey , efisiensi energy berpotensi menghambat emisi global hingga 40%. Pencahayaan, peralatan, dan alat listrik yang lebih efisien dapat digabungkan dengan teknologi pintar untuk memonitor pemakaian dan optimalisasi efisiensi.
Teknologi pintar termasuk teknologi pintar pengukur konsumsi energi, teknologi perangkat untuk pengawasan energi di rumah atau perkantoran, sistem kontrol energi di industri, teknologi cerdas pembangkit listrik yang mampu mengurangi pemakaian listrik (yang tidak perlu) setiap saat. Kecerdasan buatan juga bisa dimanfaatkan untuk memprediksi kebutuhan energi di antara pembangkit listrik agar membantu kebutuhan energi nyata (sehingga tak boros) dan terhindar dari limbah yang tak perlu (akibat produksi yang tak perlu).
Masuk Akalkah Kita bisa Capai Emisi Netral Tepat Waktu?
Selain teknologi, peran pemerintah juga penting untuk mencari solusi agar konsumen sektor bisnis dan rumah tangga bisa mempraktikan energy bersih dan mengurangi kebutuhan (energi berlebih dan tak ramah lingkungan). Yang patutu dipikirkan adalah pihak yang berpenghasilan rendah tak bisa turut memasang panel surya di atap rumah mereka, tanpa adanya perubahan pada biaya dan kesempatan berpartisipasi pada tingkat individu.
Kondisi ini mengingatkan bahwa penghasil emisi yang luas dan mayoritas berasal dari industri, dan perusahaan dan negara penghasil polusi terbanyak menjadi target dari pengurangan emisi agar tercapainya target iklim. Kita mengharapkan kombinasi dari insentif pemerintah dan hibah bisa berbarengan dengan teknologi yang makin maju sehingga menghasilkan warga yang peduli emisi karbon pada saat yang tepat.
Tetapi di sisi lain butuh pengawasan dari dunia untuk menghadapi pelaku bisnis dan entitas pemerintah yang tak kooperatif. Dengan demikian, kesempatan berharga untuk menghentikan perubahan iklim yang lebih berbahaya, tidak terlewatkan.