banner
Ilustrasi sumber emisi karbon. Foto: Istimewa/gard.no
Wawasan

Studi: Kesenjangan Jejak Karbon si Kaya dan Miskin Makin Melebar

479 views

MajalahCSR.id – Sejumlah pakar mengatakan, mengurangi jejak karbon pada kelompok “kaya raya” adalah jalan tercepat menuju “net zero” atau karbon netral. Melalui serangkaian riset, para ilmuwan menyebut kelompok kaya secara tak proporsional memiliki jejak karbon yang sangat besar. Mereka bahkan dinilai bertanggung jawab atas kadar emisi bumi yang terus bertambah.

Melansir dari The Guardian, Jumat (4/2/2022), pada 2010 lalu, sekitar 10% keluarga makmur berperan dalam 34% timbulnya karbon secara global. Sementara 50% populasi global yang berpenghasilan rendah hanya memicu 15% emisi. Pada 2015, atau 5 tahun kemudian, golongan masyarakat kaya berperan dalam menciptakan 49% emisi.  Bandingkan dengan kelompok miskin, di mana jumlahnya mencapai setengah populasi bumi dan hanya menyumbang 7% emisi.

Aimee Ambrose, professor kebijakan energi di Sheffield Hallam University dan penulis jurnal ilmiah di Science Direct, menuturkan, menurunkan dampak emisi pada kelompok “sugih” boleh jadi merupakan cara cepat mencapai karbon netral di bumi.

Ambrose mencontohkan kasus di negaranya, Inggris. Setidaknya warga makmur di sana yang setengah populasi berperan dalam 20% konsumsi energi untuk produk yang konsumsinya kurang dari 5%. Saat rumah mereka lebih efisien dalam energi, di balik itu terdapat lebih banyak ruangan luas di tempat tinggal mereka yang butuh alat pemanas. Mereka juga punya lebih banyak barang mewah dan berikut perangkat terkini yang beremisi tinggi dalam produksinya. 

Ilustrasi konsumsi energi di Eropa pada 2017. Grafis : ec.europa.eu

“Bakal lebih mudah bagi konsumen kaya untuk mengatasi biaya hidup mereka tanpa perlu mengubah perilaku,” tutur Ambrose. “Tetapi bayangkan dengan kelompok yang hidup di bawah standar, di mana mereka tak bisa menurunkan thermostat (alat pemanas ruangan), karena hanya satu-satunya, dan ide terbang jauh dengan pesawat jet mencari mentari hangat untuk liburan, sama sekali tak terpikirkan oleh mereka.”

Di lebih banyak negara, sebelum pandemi COVID-19 muncul, kurang dari setengah penduduknya dilaporkan terbang paling tidak sekali setahun. Kondisi ini di tengah fakta bahwa lebih dari setengah emisi yang berasal dari penumpang pesawat terkait dengan 1% orang yang seringkali bepergian dengan transportasi udara.   

Dalam berbagai cara, lanjut Ambrose, kelompok kaya punya banyak upaya untuk mengatasi kenaikkan ongkos energi. ”Namun, mengatasi konsumsi berlebihan seseorang belum menjadi agenda penting bagi pemerintah dan pembuat kebijakan. Ini adalah kabar buruk bagi bumi dan harapan kita dalam mencapai karbon netral,” sergahnya.

Ambrose meneruskan, hasil dari pembiaran kebijakan terkait pembatasan konsumsi (energi) yang tinggi merupakan kesempatan yang hilang dalam menyelesaikan ketidaksetaraan dan kesempatan untuk pengurangan emisi karbon.

“Mekanisme (kenaikkan) harga (energi) hanya memaksa kelompok pendapatan rendah dalam mengurangi konsumsi agar dampaknya tak membahayakan,” jelas Ambrose. “Di sisi lain, konsumsi tinggi dan jejak karbon yang tinggi dengan leluasa terkonsentrasi di kawasan berpenghasilan tinggi seperti kota besar dan satelitnya. Padahal, dampaknya di saat bersamaan, seperti polusi udara, melampaui wilayah yang warganya berpenghasilan rendah.”  

banner