banner
Ilustrasi bencana kekeringan. Foto: Shutterstock
Berita

Studi: Eropa Terkini Terancam Krisis Air

31 views

Jakarta, MajalahCSR.id – Eropa yang merupakan benua maju di dunia, ternyata terancam kondisi yang mengkhawatirkan: krisis air. Hal ini terungkap dari studi yang digelar Graz University of Tehcnology, Austria. Menurut studi ini, kondisi air di Eropa sudah benar-benar dalam bahaya. Hal itu ditandai dengan banyaknya sungai yang kini mengering akibat jarangnya hujan turun di sana.

Para ilmuwan dalam melakukan riset tersebut dibantu dua satelit yang bernama Tom and Jerry. Penamaan satelit dari karakter lucu kartun tersebut, karena keduanya tak boleh jauh tertinggal satu sama lain. Ketinggian orbit satelit ini mencapai 490 km dari permukaan bumi, sementara jarak keduanya adalah 200 km.

“Beberapa tahun lalu, saya tidak pernah membayangkan air akan menjadi masalah di Eropa,” ucap  Torsten Mayer-Gurr, peneliti riset tersebut, seperti yang diberitakan CNN.

Prancis merupakan negara di Eropa yang mengalami kekeringan cukup parah. Dikabarkan, negara pimpinan Presiden Emmanuel Macron tersebut tanpa curah hujan selama 32 hari berturut-turut, yang dimulai dari 21 Januari hungga 21 Februari. Kasus minimnya curah hujan ini bahkan yang terpanjang sejak 1959

Krisis hujan tersebut membuat danau-danau dan sungai-sungai di Prancis dalam kondisi kritis dan terancam kering. “Tanah lebih kering daripada yang biasa,” kata ahli iklim Meteo-France, Simon Mittelberger.

Mittelberger menambahkan, hujan salju juga berada dalam tingkat yang rendah. Hal itu terjadi di daerah Pyrenees yang “mendekati rekor terendah kuantitas salju sepanjang tahun tersebut,” kata Mittelberger.

Di Pegunungan Alpen, jumlah salju menyusut 63 persen daripada yang biasa berdasarkan data dari CIMA Research Foundation. Krisis salju di musim dingin pun dapat mengancam persediaan air di musim semi dan panas. Pasalnya, tidak ada salju yang mencair yang dapat menambah pasokan air di sungai.

Di musim panas lalu, Prancis telah mengalami kekeringan terburuk. Menurut Mittelberger, situasinya bisa “lebih buruk jika tidak ada curah hujan yang signifikan di dalam beberapa bulan ke depan,” kata Mittelberger.

Sementara itu di Italia, sungai terpanjang Po mengalami penyusutan jumlah air sebanyak 61 persen daripada yang biasanya tahun ini.

Pemerintah Italia pada musim panas lalu pun telah mengumumkan keadaan darurat di area sungai tersebut.

“2023 baru saja dimulai. Tetapi itu sudah menunjukkan tanda-tanda yang memburuk dalam hal cuaca dan kekeringan,” kata Giorgio Zampetti, Manajer Umum Legambiente, sebuah kelompok pemerhati lingkungan di Italia.

Situasi serupa terjadi di Spanyol yang mengalami cuaca terpanasnya tahun lalu. Hal tersebut pun berdampak kepada pasokan air di Negeri Matador.

“Kita tidak bisa menggaransi pasokan air untuk minum dan ekonomi dengan hanya mengandalkan hujan,” kata Menteri Transisi Ekologis, Teresa Ribera.

Menanggapi situasi ini, Spanyol telah berinvestasi sekitar US$24 miliar atau Rp366 triliun untuk pengaturan air semisal memperbaiki sanitasi dan modernisasi irigasi.

Hal ini membuktikan dampak perubahan iklim sudah benar-benar dirasakan, sehingga perlu adanya upaya yang cepat dan menyeluruh bagi penghuni bumi untuk mencegah kondisi menjadi lebih buruk.

 

Sumber: detik.com

 

banner