MajalahCSR.id – Selain plastik, limbah yang juga bisa memicu persoalan lingkungan adalah sisa makanan. Di lain pihak, kegiatan penerbangan terbukti menyumbang emisi gas rumah kaca sebesar 12% dari total emisi di dunia, dan presentasenya diperkirakan terus meningkat.
Kabar baiknya, penelitian terbaru berhasil mengurai kedua masalah ini. Limbah sisa makanan menurut riset tersebut ternyata dapat menjadi bahan bakar keberlanjutan bagi pesawat. Penemuan ini merupakan hasil upaya para ahli untuk menemukan bahan bakar hijau (biofuel) untuk pesawat yang memiliki zero-emission.
Studi ini dipublikasikan di jurnal ilmiah, Proceedings of the National Academy of Sciences. Rissset yang dilakukan merupakan hasil kerja sama antara ilmuwan di National Renewable Energy Laboratory (NREL) dengan Universitas Dayton, Oak National Laboratory, dan Universitas Yale.
Menurut studi ini, menggunakan energi dari sisa limbah makanan yang selama ini belum termanfaatkan (untuk bahan bakar keberlanjutan pesawat) bakal membawa solusi terhadap 2 jenis polusi di saat bersamaan.
Banyaknya limbah pangan atau sisa makanan yang teronggok di tempat pembuangan akhir, bisa mendorong terbentuknya gas metana, jenis gas yang sangat berbahaya sebagai pemicu gas rumah kaca. Para ahli mengungkap bukti jika pemakaian bahan bakar hijau ini, bisa menghasilkan kadar emisi karbon hingga 165% lebih rendah dibandingkan bahan bakar konvensional (fossil) pesawat.
“Sustainable aviation fuels (bahan bakar keberlanjutan pesawat/SAF) mencakup strategi sektor penerbangan dalam mereduksi CO2 sebelum ke era listrik,” kata penulis laporan tersebut. “Sebagai tambahan, dari sejumlah upaya yang melibatkan SAF, terlihat jika biofuel ini mampu mengurangi emisi yang disebut emisi aerosol dari 50 hingga 70%. Hasil ini berarti sangat berdampak negatif (mengurangi) pada potensi pemanasan global.”
Mengutip inhabitat dari CleanTechnica, beberapa perusahaan maskapai besar, disebut mulai mendukung dengan berinvestasi untuk SAF. Harapannya, dukungan ini bisa berbuah solusi yang efektif dan bisa diterapkan secara massif di lapangan. Salah satu maskapai yang mendukung adalah Southwest Airlines di Amerika.
“Jika upaya kami ini didukung dan pemakaiannya meluas, cuma butuh waktu sedikit tahun hingga 2 tahun saja bagi maskapai seperti Southwest untuk mendapat pengakuan dan izin peraturan bahan bakar SAF yang baru dalam penerbangan komersial,” terang Derek Vardon, pakar di NREL yang juga penulis laporan ini.
“Itu berarti bahwa penerbangan dengan emisi karbon nol, bisa diterapkan lebih cepat dari yang kita awal perkirakan,” pungkas Vardon.