Jakarta – Majalahcsr. Pemerintah telah berkomitmen dalam pengarusutamaan gender dalam berbagai isu pembangunan, termasuk ekonomi hijau. Namun menerjemahkan konsep tersebut ke dalam kebijakan di tingkat lokal masih menjadi tantangan.
Pada tingkat lokal sendiri, pemahaman dan kesadaran pemangku kepentingan terhadap isu ekonomi hijau dan pemberdayaan perempuan di bidang sumber daya alam dan energi masih minim. “Sebagian pemerintah daerah masih menganggap bahwa perencanaan dan penganggaran responsive gender (PPRG) berarti kewajiban mengalokasikan anggaran tambahan untuk program atau kegiatan khusus perempuan,” ujar Millennium Challenge Account – Indonesia (MCA-I) dalam risalahnya, Maret 2018.
Hal ini mengakibatkan pemerintah daerah cenderung mengalokasikan anggaran yang umumnya relatif kecil kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (PPAKB). MCA-I menemukan anggaran yang relatif kecil ditambah dengan pemahaman yang masih terbatas akan konsep pemberdayaan perempuan menjadikan program Dinas PPAKB justru menjadi kurang efektif.
Namun konsep mengenai ekonomi hijau atau ekonomi rendah karbon juga belum dipahami sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Akhirnya menyebabkan sebagian pemerintah daerah belum memiliki kebijakan yang jelas yang mengaitkan kegiatan dalam ekonomi hijau dengan pemberdayaan perempuan.
“Kami menemukan beberapa inovasi dan praktik baik yang dilakukan pemerintah daerah, tetapi sulit disimpulkan apakah hal tersebut merupakan hasil perencanaan atau insidental,” ungkap MCA-I.
MCA-I mengungkapkan beberapa alasan yang mendasari temuan dari risalahnya.
- Ekonomi hijau dan pemberdayaan perempuan tidak selalu menjadi prioritas daerah. Studi MCA-I menemukan hanya sedikit pemerintah daerah yang secara konsisten berkomitmen kepada pemberdayaan perempuan dan ekonomi hijau, misalnya Pemerintah Kabupaten Lombok Utara.
- Perangkat peraturan pemerintah pusat terkait ekonomi hijau tidak selalu konsisten diimplementasikan dalam strategi pembangunan. Contohnya saat pemerintah mempromosikan visi ekonomi rendah karbon, pemerintah secara bersamaan mendorong peningkatan pembangkit listrik tenaga batubara. Situasi seperti ini menimbulkan kebingungan dan kesulitan menginterpretasikan ekonomi hijau bagi pemerintah daerah.
- Absennya mekanisme monitoring atau evaluasi terhadap kualitas kebijakan yang menyangkut ekonomi hijau dan pemberdayan perempuan. Hal ini menyebabkan kebijakan yang ada seringkali bersifat administrative atau hanya menyentuh permukaan masalah.