Core Subjects ISO 26000 dan Regulasi Terkait
Setelah kita memahami konsep tanggung jawab sosial sebagai perilaku organisasi, selanjutnya kita perlu memahami struktur ISO 26000 yang memiliki tujuh core subject. Organizational governance atau tata kelola organisasi menjadi landasan utama bagi pelaksanaan ke-enam core subjectlainnya (lihat diagram berikut).Kemudian ke-enam core subject lainnya merupakan isu yang sangat relevan dengan perilaku organisasi.
Core Subjects ISO 26000 Guidance for Social Responsibility
Di Indonesia, banyak sekali regulasi yang sebenarnya sudah terkait atau bahkan sejalan dengan core subject ISO26000. Indonesia antara lain memiliki UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU No.7/2014 tentang Perdagangan, UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.31 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No.28/2014 tentang Hak Cipta yang seluruhnya terkait core subject ISO 26000.
Masih banyak undang-undang terbaru serta turunannya seperti Keppres, Kepmen, PP dan Perda yang terkait core subject ISO26000, ditambah lagi panduan-panduan lain seperti Pedoman Umum Tata Kelola Perusahaan yang Baik yang diterbitkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG).
Adanya regulasi-regulasi tersebut tentunya dipahami oleh dokumen ISO 26000, seperti yang dinyatakan dalam Box1, yaitu “In some countries, certain recommendations of ISO 26000 are incorporated into law, and are therefore legally required”. Jadi, seberapa tepat dan efektifkah UU CSR? Terutama ketika sudah banyak regulasi yang terkait dengan core subject ISO 26000 di Indonesia?
Dari ke-enam core subject ISO 26000, satu core subject yang masih menjadi perdebatan penting atau tidaknya diatur dalam regulasi adalah “Community Involvement and Development”. Bagian ini berisi rekomendasi mengenai pendekatan terhadap masyarakat serta keterlibatan dalam pengembangan masyarakat. Dalam persepsi awam masyarakat, pada bagian inilah yang dimaksud dengan “program CSR”, “bantuan CSR” atau pemberian “dana CSR”.
Apakah hal ini bersifat wajib (mandatory) atau sukarela (voluntary)? Bukankah ini tugas utama pemerintah? Bukankah perusahaan sudah membayar pajak, yang diperuntukkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat? Untuk menjawab hal tersebut, maka kita dapat melihat situasi yang terjadi di India.
Regulasi CSR di India: Mandatory dan Voluntary dalam CSR
Pada bulan Juli tahun 2011, Pemerintah India melalui Ministry of Corporate Affairs menerbitkan National Voluntary Guidelines on Social, Environmental & Economic Responsibility of Business. Dokumen ini merupakan panduan yang bersifat voluntary dan berisi sembilan prinsip tanggung jawab sosial perusahaan.
Prinsip-prinsip tersebut mencakup aspek tata kelola, produk dan jasa, ketenagakerjaan, pemangku kepentingan, hak asasi manusia, lingkungan, advokasi kebijakan, pembangunan inklusif, dan pelanggan. Isinya secara umum sejalan dengan ISO 26000 yang disesuaikan dengan situasidi India.
Kemudian pada tahun 2013, tanggung jawab sosial diatur dalam undang-undnag di India, yaitu melalui Companies Act 2013, Section 135 & Schedule VII. Regulasi tersebut disahkan oleh parlemen pada tanggal 30 Agustus 2013.
Dengan mengacu pada Section 135, Ministry of Corporate Affair mengeluarkan Companies Corporate Social Responsibility Policy Rules pada tanggal 24 Februari 2014. Selanjutnya, regulasi CSR di India mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 April 2014.
Regulasi CSR di India bertujuan mendorong korporasi besar untuk terjun langsung membantu masyarakat. Hal ini tercermin pada kriteria minimum yang wajib menjalankan CSR di India, yaitu net worth minimum USD100 juta, turnover minimum USD200 juta, atau net profit USD1 juta. Bagaimana dengan Indonesia?
PP No.47/2012 mensyaratkan perusahaan yang berkaitan dengan sumber daya alam. Dalam bagian Penjelasan atas PP No.47/2012, “terkait” dapat diartikan “mengelola dan memanfaatkan” sumber daya alam, atau “berdampak” pada sumber daya alam. Bagaimana batasannya? Toh semua kegiatan perusahaan digerakkan oleh sumber daya alam.
RUU CSR versi DPD-RI bagi penulis justru lebih menyeramkan lagi, karena semua jenis organisasi termasuk yayasan dengan aset Rp1 miliar dan karyawan minimum 20 orang wajib melaksanakan kegiatan CSR. Akan ada puluhan bahkan ratusan ribu organisasi yang wajib mengadakan kegiatan CSR, termasuk salon-salon kecantikan dan sekolah-sekolah luar biasa yang memiliki ruko atau bangunan sekolah sendiri wajib melakukan CSR.
Bayangkan jika sebuah perusahaan mendonasikan laboratorium dengan biaya Rp1 miliar ke sebuah yayasan sekolah, maka yayasan tersebut wajib melakukan kegiatan CSR. Hal ini akan memberatkan.
Kemudian, regulasi CSR di India setidaknya menekankan pada tiga hal. Pertama, CSR sebagai kebijakan perusahaan. Kedua, CSR sebagai sebuah kegiatan atau program. Kemudian, yang ketiga adalah CSR sebagai komponen penting perusahaan.
Hal ini ditegaskan dalam Section 135 yang mengatur peran Komite CSR untuk merencanakan kebijakan dan kegiatan CSR serta memonitor pelaksanaannya. Direksi berperan menjalankan dan melaporkan kegiatan CSR. Bagaimana hal ini diatur oleh PP No.47/2012 atau RUU CSR versi DPD-RI?
Baik PP No.47/2012 maupun RUU CSR versi DPD-RI tidak menyinggung tentang kebijakan CSR di perusahaan. Komite CSR tidak diatur dalam PP No.47/2012 sedangkan RUU CSR versi DPD-RI menyatakan bahwa fungsi Komite CSR dapat diganti dengan Unit TJSL. Sebaliknya, peran direksi tidak dinyatakan secara eksplisit di RUU CSR versi DPD-RI sedangkan PPNo.47/2012 menegaskan peran direksi untuk merencanakan dan melaksanakan program CSR sesuai dengan persetujuan Komisaris atau RUPS.
Selanjutnya, hal yang menarik dari Section 135 adalah tidak meninggalkan sifat voluntary dalam regulasi CSR meski India mewajibkan perusahaan mengalokasikan 2% dari laba bersihnya untuk CSR. Section 135 membolehkan perusahaan tidak memenuhi ketentuan minimum dana CSR asalkan dapat menjelaskan melalui laporan perusahaan atau website.
Di Indonesia, aspek voluntary terlupakan dalam regulasi CSR. Meski PP No.47/2012 dan RUU CSR versi DPD-RI tidak mensyaratkan minimum persentase dana CSR, namun mengeluarkan dana CSR menjadi keharusan. Tidak ada jalan keluar bagi perusahaan. Kondisi ini juga membuka peluang bagi perda-perda CSR untuk menetapkan minimum persentase dana CSR.