Corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial saat ini menjadi salah satu hal yang penting bagi perusahaan dan juga praktisi public relations (PR). Bahkan kabarnya, naiknya branding perusahaan dan gengsi direksi atau sekretaris perusahaan juga tergantung dari pelaksanaan CSR yang berhasil memenangkan award. Entah benar atau tidak, namun maraknya ajang penghargaan CSR saat ini dapat menjadi salah satu indikasi hal tersebut.
Terlepas dari tepat atau tidaknya CSR sebagai strategi branding, perusahaan perlu memahami konsep dan konteks CSR serta “posisi” CSR dalam tatanan hukum di Indonesia. Hal ini penting karena terkait erat dengan risiko-risiko bisnis yang muncul sebagai konsekuensi regulasi CSR.
Tulisan ini akan membahas regulasi CSR berdasarkan status terakhir per akhir 2016, khususnya yang terkait dengan RUU CSR yang telah disusun oleh DPD-RI. Selain itu tulisan ini akan menyajikan juga sedikit perbandingan dengan regulasi CSR di India. Sejauh ini Indonesia dan India merupakan dua negara di dunia yang secara serius menjadikan CSR sebagai undang-undang.
Perjalanan Regulasi CSR di Indonesia
Sejak tahun 2007, CSR yang disebut sebagai tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas dinyatakan sebagai kewajiban perusahaan. Mulai saat itu, CSR menjadi “keharusan” dan dianggap sebagai hak masyarakat. Tuntutan ini bagai pisau bermata dua; perusahaan dapat memanfaatkan CSR dan sekaligus menjadi beban tambahan karena pengucuran dana CSR dianggap keharusan.
Lima tahun setelahnya, Pemerintah mengeluarkan PP No.47/2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan pada Perseroan Terbatas. Terbitnya PP No.47/2012 menambah daftar regulasi CSR yang ada di Indonesia, selain perda-perda CSR yang diterbitkan oleh berbagai daerah, pasca lahirnya UU No.40/2007. Meski isi PP No.47/2012 secara substansi tidak “menggigit” dan memberi keleluasaan kepada perusahaan, tekanan terhadap perusahaan untuk memberikan dana CSR atau melakukan program CSR pada kenyataannya terus menguat.
Upaya memperkuat legalitas CSR di Indonesia terus dilakukan. Hingga akhir tahun 2016, DPR dan DPD-RI telah menyusun RUU CSR yang berbeda http://www.kompasiana.com/syamsuddinradjab/perbandingan-ruu-csr-versi-dpr-dan-dpd-2016_58d454b7747e613b5ec08efb
Upaya ini didukung Kemensos yang terlibat bersama Komisi III DPRmenyusun RUU CSR, dengan harapanperusahaan dapat membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan http://economy.okezone.com/read/2011/12/13/320/541873/atasi-kemiskinan-kemensos-susun-draf-ruu-csr dan http://jambi.tribunnews.com/2016/09/18/kemensos-minta-bahas-dana-wajib-csr
Di sisi lain, DPD-RI sempat mengadakan studi banding ke beberapa negara untuk mempelajari regulasi CSR.
Konsep Tanggung Jawab Sosial: Perilaku Organisasi
Pada tatanan global dan juga di Indonesia, definisi tanggung jawab sosial atau social responsibility pada umumnya mengacu pada dokumen ISO 26000 Guidance for Social Responcibility, yaitu “Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships”.
Ada tiga hal penting yang digarisbawahi, yaitu responsibility of an organization (tanggung jawab organisasi), impact (dampak) dan transparent and ethical behaviour (perilaku yang transparan dan beretika). Pertama, tanggung jawab sosial diperuntukkan tidak hanya bagi perusahaan, tetapi semua organisasi termasuk juga pemerintah dan organisasi nirlaba. Kedua, tanggung jawab sosial fokus pada penanganan dampak yang ditimbulkan, dalam hal ini meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. Ketiga,tanggung jawab sosial dijalankan “melalui perilaku yang transparan dan beretika”, dalam hal ini tentunya perilaku organisasi dan individu di dalamnya.
Dari hal tersebut di atas, maka banyak pertanyaan yang muncul terkait regulasi CSR di Indonesia. Mengapa hanya sektor usaha yang wajib bertanggung jawab sosial? Jika tanggung jawab sosial menekankan pada dampak yang ditimbulkan, bagaimana perusahaan dapat mengentaskan kemiskinan? Bukankah kemiskinan merupakan dampak dari berbagai faktor, termasuk korupsi dan kebijakan pemerintah yang dapat memicu kemiskinan namun di luar kewenangan perusahaan? Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah kita meregulasi “perilaku” organisasi? Sejauh mana transparansi dan etika dapat diregulasi?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perilaku” didefiniskan sebagai “tanggapan atau reaksi terhadap rangsangan atau lingkungan” ( http://kbbi.web.id/perilaku). Dalam bahasa Inggris, “behaviour” didefinisikan sebagai “the way someone behaves” (http://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/behaviour). Dengan pemahaman definisi tersebut, bisakah kita meregulasi “tanggapan atau reaksi” organisasi atau individu didalam organisasi?
Untuk mempertegas pemahaman tentang tanggung jawab sosial, kita juga perlumelihat karakteristik ISO 26000. Dokumen ISO 26000 secara jelas menyatakan diri sebagai “guidance”, bukan “guidelines”. Perbedaannnya terletak pada “tingkat kepatuhan” terhadap panduan. “Guidance” bersifat rekomendasi, sedangkan “Guidelines” berisi klausul-klausul persyaratan yang harus dipenuhi.
Hal tersebut diperkuat oleh ciri ISO 26000 lainnya, yaitu penggunaan kata “should”, bukan “shall” di dalam dokumen. Ini jelas tertulis pada dokumen ISO 26000 Guidance for Social Responsibility, khususnya Box 1,yaitu (kata-kata penting digarisbawahi oleh penulis):
This International Standard contains no requirements and therefore the word “shall”, which indicates a requirement in ISO language, is not used. Recommendations use the word “should”. In some countries, certain recommendations of ISO 26000 are incorporated into law, and are therefore legally required.
The word “may” is used to indicate that something is permitted. The word “can” is used to indicate that something is possible, for example, that an organization or individual is able to do something.
An International Standard providing guidance does not contain requirements but may contain recommendations.
Jadi jelas, jika mengikuti konsep tanggung jawab sosial dalam ISO 26000, maka tanggung jawab sosial sebagai perilaku organisasi bukanlah suatu objek yang patut diregulasi atau diatur melalui undang-undang. Ini juga yang menjadi alasan ISO 26000 tidak menggunakan mekanisme sertifikasi.