Jakarta, MajalahCSR.id – Asupan makanan yang berlebih terutama dari pangan tak sehat adalah sumber penyakit dan gangguan tubuh. Oleh karena itu, tren diet bermunculan dan sudah menjadi gaya hidup masyarakat yang ingin tampil lebih sehat.
Di sisi lain, pola konsumsi yang berlebih juga menggerus pasokkan pangan yang jadi beban pada planet ini. Limbah kemasan makanan, sumber air dan lahan yang dipakai untuk lahan pangan, dan pasokan daging dari peternakan adalah contoh beban tersebut.
Berbicara diet, metodenya kini jauh berkembang, sehingga muncul beberapa variasi diet saat ini. Namun demikian, ternyata tidak semua diet berdampak sama pada lingkungan. Jadi, pola konsumsi apa yang mempengaruhi bumi yang kita tinggali, dan apakah sebaiknya kita membuat perubahan?
Vegan
Melansir Inhabitat dari Everyday Health, vegan merupakan diet yang paling ramah lingkungan. Hal ini bisa dipahami. Vegan adalah menghilangkan produk hewani dari daftar menu. Artinya tak ada lagi makanan dari hasil ternak sapi, babi, ayam, bebek, kambing, dan sejenisnya untuk diambil daging atau susunya. Selain air, dibutuhkan lahan dan pakan untuk menernakkan hewan tersebut yang akhirnya jadi praktik penyebab lepasnya gas rumah kaca yang jadi biang kerok pemanasan global. Pada kenyataannya, industri peternakan menjadi salah satu kontributor gas metana terbesar di planet ini.
Meski begitu, tak ada jenis diet yang benar-benar berdampak nihil. Bahkan pola konsumsi vegan berarti kebutuhan lahan pertanian untuk tanaman. Saat ini, lebih kurang 40% lahan yang digunakan untuk industri pangan melalui pertanian dan peternakan. Jika setiap orang memutuskan untuk berhenti mengonsumsi produk hewani, bakal membutuhkan lahan pertanian yang lebih luas sebagai gantinya.
Meski begitu, bercocok tanam berdampak lebih kecil bagi beban lingkungan dibandingkan berternak. Selain itu, tanaman membawa manfaat lebih, yaitu penyerapan karbon dan melepas oksigen segar. Hal ini karena sifat tanaman yang mampu menyaring udara yang kita hirup.
Vegetarian
Diet vegetarian adalah gaya hidup yang kedua terkait pola konsumsi yang ramah lingkungan. Seperti halnya vegan (yang benar-benar tak lagi konsumsi daging hewani melainkan turunannya seperti telur, madu, wol, sutera, dll), vegetarian menghapus menu daging merah, dan putih (ayam, ikan), yang berhubungan dengan imbas pada persoalan lingkungan.
Meski begitu vegetarian tetap memakan telur, produk susu, mulai susu segar, yogurt, keju, dan butter. Agar mendapatkan produk, tentu saja membutuhkan unggas dan sapi untuk dipelihara. Alhasil, mengonsumsi produk turunan hewan ini tetap berdampak pada lingkungan.
Memelihara hewan ternak membutuhkan lebih banyak sumberdaya dibandingkan tanaman. Meskipun tak mengonsumsi daging hewan secara langsung, telur dan susu memerlukan kebutuhan yang banyak agar membuatnya tetap di jalur konsumsi.
Keto and Atkins
Diet Keto dan Atkins adalah diet untuk tinggi lemak dan juga konsumsi karbohidrat rendah. Diet ini sangat membatasi karbohidrat tapi tidak untuk protein. Ini artinya minyak, butter, dan keju termasuk yang masih bisa dikonsumsi. Diet ini juga masih memberi lampu hijau kepada daging merah, unggas, dan ikan. Lantaran hal ini, diet ini juga berkontribusi pada praktik penangkapan ikan tanpa kontrol, serta meningkatnya konsumsi daging.
Meski demikian, diet keto bisa dilakukan secara lebih “hijau” atau ramah pada bumi. Caranya dengan mengonsumsi protein nabati seperti kacang-kacangan, cokelat hitam, buah dan sayuran berkandungan protein tinggi. Melakukan diet keto seperti ini tentu berdampak positif bagi tubuh dan juga lingkungan. Diet keto tak selamanya berdampak merugikan bagi bumi, dengan memilih sumber protein nabati. Dengan kata lain, dampak yang ditmbulkan tergantung dari pilihan pelaku dietnya, apakah lebih memilih protein hewani atau nabati.
Pescatarian
Diet satu ini disebut campuran atau “hybrid” yang berbasis konsumsi sayuran. Yang membedakan, seorang pediet pescatarians masih memakan ikan. Oleh karena itu, meskipun bisa menyehatkan secara asupan tubuh, diet ini tak sepenuhnya sehat bagi lingkungan. Jika tidak hati-hati, ikan yang dikonsumsi boleh jadi berasal dari proses penangkapan ikan besar-besaran tidak berkelanjutan bahkan illegal yang tentu berdampak buruk bagi habitat lingkungan perairan.
Flexitarian
Diet dengan nama unik ini lebih banyak konsumsi asupan nabati. Namun sesuai namanya, tetap bisa menikmati daging, ikan, susu, dalam porsi yang jauh lebih kecil. Selain lima diet di atas masih ada sejumlah pola diet lain yang dikenal. Contohnya diet paleo. Pola diet ini dinamakan juga diet manusia gua yang berdasarkan pola makan manusia prasejarah dulu yang hanya mengonsumsi makanan organik, bukan olahan. Jenis makannya seperti halnya orang biasa, namun murni. Hanya mengonsumsi daging asli alih-alih kemasan atau olahan, demikian juga jenis makanan lainnya.
Di sisi lain, kita melihat bagaimana perilaku diet bisa mempengaruhi lingkungan. Praktik diet paleo, keto, cukup jelas paling memberikan beban pada lingkungan. Sepanjang mereka mengurangi konsumsi hewani atau bila memungkinkan beralih ke “plant based” maka berbanding lurus pada efek positif bagi lingkungan. Selain di atas, masih banyak lagi jenis diet lainnya yang tujuannya untuk memberi tubuh asupan yang lebih sehat.
Studi menarik tentang diet
Ada studi yang diberi judul “Evaluating the environmental impacts of dietary recommendations”, atau “Menilik rekomendasi diet yang berdampak bagi lingkungan.” Studi ini memberi kesimpulan yang menarik, bahwa faktor penentu untuk keputusan diet adalah: penghasilan. Secara lebih spesifik, penelitian ini mengamati rekomendasi diet dilihat dari negara-negara di dunia, lalu membandingkannya terhadap dampak lingkungan yang juga berkaitan dengan penghasilan negara. Hasilnya sangat jelas, negara dengan pendapatan tinggi punya upaya yang lebih baik dalam mengurangi gas rumah kaca, eutrofikasi, dan penggunaan lahan.
“Pada negara yang berpenghasilan menengah ke atas, kami menemukan adanya reduksi kecil pada dampak (dari pola diet), sementara negara berpenghasilan menengah ke bawah kami menemukan pertumbuhan dampak (lingkungan) yang substansial,” kata studi tersebut.
Jadi ketika keputusan seseorang merupakan faktor pencetus keseimbangan makanan dan lingkungan, perlu dilihat juga faktor lain, seperti kebijakan publik, ketersediaan pilihan pangan, dan akses pada informasi yang akurat tentang bagaimana pilihan makanan berdampak pada lingkungan.