MajalahCSR.id – Lebih dari 400 perempuan pemimpin aksi iklim menandatangani surat terbuka kepada Pemerintah Inggris agar memberi perhatian lebih dan menyuarakan transparansi soal kesetaraan gender pada pertemuan iklim COP26 November 2021 mendatang.
Para penandatangan surat tersebut termasuk penggagas perjanjian iklim Paris (Paris Agreement), Laurence Tubiana, Presiden Irlandia, Mary Robinson, ahli ekonomi Kate Rasworth, pengacara lingkungan, Farhana Yamin, dan penggiat ekspedisi National Geographic, Sylvia Earle. Selain itu terdapat pula nama artis dan pesohor seperti aktris Emma Thompson, dan Ellie Goulding.
Kampanye yang digelar SHEChangesClimate ini muncul pada November tahun lalu yang awalnya ditujukan untuk pertemuan COP26. Namun, sayangnya pertemuan iklim global itu diundur pada November 2021 seiring terjadinya pandemi COVID19.
Pada September tahun lalu, Inggris sempat mengumumkan perwakilan mereka di pertemuan tersebut yang seluruhnya adalah pria. Disebutkan, perempuan hanya diperbantukan pada level junior atau asisten dalam proses negosiasi pertemuan. Terungkap pula, kurang dari 25% perempuan yang dilibatkan di posisi penting sebagai tim perwakilan Inggris di pertemuan itu. Hal inilah yang akhirnya memicu aksi protes dari pegiat iklim perempuan.
Surat yang ditandatangani itu membubuhkan alasan bahwa dengan melibatkan lebih banyak perempuan dalam proses keputusan dan negosiasi di pertemuan COP26, dapat meningkatkan keberhasilan dan memastikan prosesnya berjalan adil.
Bella Lack, Wakil Anak Muda dari Born Free Foundation, menegaskan, “Terkait pola pikir tentang alam ini saya sering menyaksikan bahwa dalam sifat perempuan terdapat keinginan untuk melindungi dan memelihara. Kita butuh insting seperti itu dan menerapkannya pada planet kita.”
Dalam surat tersebut juga disinggung soal pertemuan iklim sebelumnya, COP25, di mana pemerintah Inggris sudah menandatangani dokumen yang disebut Gender Action Plan (GAP) atau Rencana Aksi (terkait kesetaraan) Gender. Dokumen Ini menekankan pentingnya keterlibatan perempuan dan kesetaraan gender dalam diskusi dan proses keputusan terkait perubahan iklim.
Dalam dokumen yang sama juga menyoroti hasil riset yang diselenggarakan GAP, bahwa perempuan muda dan dewasa selama ini diposisikan tidak adil dalam isu perubahan iklim. Padahal, mereka punya peran kunci dalam keluarga dan masyarakat dalam membangun kesadaran bahaya ancaman perubahan iklim.
Merujuk pada data Perserikatan Bangsa Bangsa, lebih kurang 80% yang terkena dampak perubahan iklim adalah perempuan karena terbatasnya akses kesempatan pada sumberdaya dan hak-hak formal.
“Bila anda memberi perempuan akses pada banyak hal, seperti pendidikan, perencanaan keluarga, dan ilmu pertanian, hal ini bisa berdampak signifikan pada iklim,” sebut pengacara lingkungan dan pendiri Track 0, Farhana Yasmin.