MajalahCSR.id – Mengombinasikan tenaga surya dan mikroba menurut studi bisa menghasilkan protein sepuluh kali lebih banyak dibandingkan tanaman semisal kacang kedelai. Selain itu, prosesnya juga punya dampak sangat kecil bagi lingkungan dibanding peternakan dan pertanian saat ini. Mengutip The Guardian, hal tersebut sangat kontras mengingat pertanian terutama peternakan menghasilkan emisi gas yang demikian besar dan menggunakan sumber air yang massif sekaligus mencemarinya.
Kosep teknologi ini adalah menggunakan listrik tenaga surya dan karbon dioksida dari udara untuk menghasilkkan bahan bakar bagi mikroba di dalam wadah yang dipersiapkan lalu memprosesnya menjadi bubuk protein kering. Menurut ilmuwan, prosesnya membutuhkan sedikit sekali lahan, air, dan pupuk, bahkan bisa diterapkan di wilayah mana saja. Jadi tidak harus memerlukan kawasan yang berintensitas cahaya matahari tinggi dan tanah yang subur.
Keamanan pangan menjadi isu yang sangat penting dalam beberapa dekade ke depan. Populasi global yang terus melonjak, kepentingan sumber bahan bakar nabati yang juga bentrok dengan lahan pangan, dan sekitar 800 juta orang saat ini dalam kondisi kekurangan gizi. Terlebih, mengantisipasi krisis iklim makin sulit tanpa menghentikan emisi dari peternakan yang menghasilkan daging dan susu (yang masih dibutuhkan saat ini dalam volume besar).
Mikroba sebenarnya sudah biasa dimanfaatkan untuk produksi aneka pangan, seperti roti, yogurt, minuman alkohol, dan daging buatan (Quorn). Dorian Leger, dari Max Planck Institute of Molecular Plant Physiology, Jerman, mengatakan,”Kami pikir pangan dari mikroba ini sangat menjanjikan dan jadi salah satu kontributor yang potensial dan penting dalam penanganan krisis pangan di masa depan.”
Tim riset yang juga dikepalai Leger fokus membandingkan dengan produk kacang kedelai. Hal ini karena komoditas ini lekat dengan kerusakkan hutan dan bahan utama pakan hewan. “Bakteri sangat fleksibel. Mereka bisa dijadikan beragam produk pangan,” ucap Leger.
Sebuah riset ilmiah yang dipublikasikan di jurnal “Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America”, adalah yang pertama membandingkan sisi kualitatif penggunaan efisiensi energi antara pertanian tradisional dengan sistem produksi mikroba yang bertenaga surya.
Para periset memakai data pada teknologi terkini untuk menghitung efisiensi dari tiap langkah tahapan, termasuk pengambilan CO2 dari udara dan memproses mikroba ke dalam pangan konsumsi. Mereka menemukan fakta sistem produksi pangan mikroba hanya membutuhkan 1% air dari pertanian konvensional dan sedikit pupuk. Pertanian konvensional membutuhkan sumber daya yang besar dan parahnya lebih banyak yang terbuang daripada yang termanfaatkan.
Para analisis memperkirakan proses “solar-microbial” dapat memproduksi 15 ton protein per hektar per tahun, yang bisa mencukupi pangan bagi 520 orang. Perkiraan ini bahkan disebutkan sangat minimal. Sebagai perbandingan, dari luas lahan yang sama, kedelai mampu menghasilkan 1,1 ton protein saja yang memenuhi pangan bagi 40 orang. Bahkan di wilayah yang paparan sinar mataharinya kurang seperti di Inggris, produksi protein mikroba ini sekurang-kurangnya 5 kali lebih banyak per hektar daripada pertanian pada umumnya.