Ditemui Sabtu (05/01/19), perempuan bernama lengkap Saur Marlina Manurung tampil simple bercelana jeans, cardigan warna senada dan balutan blus hitam bermotif. Perempuan kelahiran 21 Februari 1972 yang akrab dipanggil Butet Manurung ini tak terlihat layaknya pesohor. Padahal istri dari Kevin James Milne ini tercatat pernah tampil sebagai cover utama majalah Time, Amerika, bertajuk Asian Hero di 2004 silam. Kiprahnya sejak tahun 1999 dalam misi pendidikan anak-anak suku pedalaman di Indonesia menjadikannya tokoh dunia.
Obrolan santai bertempat di kawasan epicentrum Kuningan, tempatnya tinggal. MajalahCSR.id pun menggali seputar pengalaman menarik maupun harapan dari perempuan tangguh ini. Founder yayasan pendidikan khusus anak pedalaman, Sokola Rimba, lalu membagikan kisah hidupnya selama bertahun-tahun di pedalaman hutan.
Tentang Pendidikan Suku Pedalaman
“Tujuan pendidikan di Sokola Rimba, tidak sama dengan pendidikan formal yang kita kenal,” katanya membuka cerita. Suku pedalaman akhirnya mau membuka diri belajar, usai paham ilmu tersebut bakal mampu mengatasi masalah di tanah mereka. Jadi, pendidikan untuk mereka bukan dimaksudkan mengubah mereka jadi “modern” versi orang kota.
Suku rimba menerima ilmu yang diajarkan demi melengkapi pengetahuan yang sudah ada. “Mereka sudah punya pengetahuan sendiri, bagaimana cara berburu, cara melalut, memanjat pohon mengambil madu, atau cara bertahan di lingkungan ekstrim,” papar Butet. Bagi mereka pendidikan bukan untuk pribadi namun dimanfaatkan untuk melindungi dan memberdayakan kelompok. Hal ini berbanding terbalik dengan pendidikan umum yang mengedepankan cita-cita personal, seperti menjadi dokter, pilot, pengusaha, dan lain sebagainya.
Anak-anak dan orang dewasa di suku pedalaman lebih tertarik ilmu baca tulis. Alhasil, Sokola Rimba lebih menekankan aspek literasi dan advokasi dalam bahan pengajarannya. “Kesuksesan belajar seorang anak rimba bukan dari pemberian sertifikat ijazah,”lanjut Butet.
“Keberhasilan dalam parameter mereka adalah saat mampu mengusir pelaku illegal logging atau ancaman sejenisnya.” Selain itu, ada beberapa muridnya yang sudah mampu berbicara di forum nasional maupun internasional (Canada World Congress Youth Indigenous Conference) sudah berani menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi. Hal-hal inilah yang disebut keberhasilan versi kelompok masyarakat adat.
“Jika seorang anak pergi melanjutkan sekolah dan tak pernah kembali, itu justru mereka nilai sebagai kegagalan,”cetus Butet. Butet mengisahkan, dari awal siswa itu belajar, selalu kritis. Apakah ilmu yang diajarkan bisa mengusir pencuri kayu hutan, menghadapi pencuri lahan mereka atau tidak. Jika iya, mereka bakal antusias untuk belajar.
Selain baca tulis, ilmu pengukuran tanah adalah salah satu pelajaran yang dibutuhkan. Dengannya mereka bisa tahu bila tanahnya diserobot orang. Ilmu-ilmu praktis dan relevan ini yang diajarkan di Sokola Rimba. Penyusunan metode ajar atau kurikulum, dirumuskan dari masalah di lapangan sehingga tepat sasaran. Sementara tenaga ajar lebih banyak outsourcing, bahkan ada yang berasal dari LBH.
Meskipun menitikberatkan aspek advokasi, bukan advokasi pendampingan masalah hukum. Tepatnya menginformasikan akses hak mereka sebagai warga negara. Jadi, advokasi yang dimaksudkan adalah pengajaran advokasi bukan melakukan upaya advokasi. Upaya advokasi kembali diserahkan kepada kelompok. Bila ingin protes karena lahan adat diambil pihak lain, mereka sudah tahu harus mengadu pada siapa. Atau jika butuh bibit, mereka sudah paham untuk mendatangi Departemen Pertanian setempat. Lebih kurang seperti itu tujuan pengajaran advokasinya.
Tentang Upaya Pendekatan
Bukan perkara mudah dan singkat mendekati kelompok suku pedalaman. Hal ini dirasakan betul oleh Butet. Apalagi bila sebelumnya mereka punya pengalaman buruk dalam berinteraksi dengan orang luar. Perlu berbulan-bulan dilakukan upaya intensif dan persuasif agar tidak dinilai sebagai seorang “musuh”.
“Mereka awalnya mengira belajar baca tulis itu mengubah mereka jadi jahat,”kata Butet sambil tersenyum. Ini bukan tak beralasan. Pihak sebelumnya yang mereka anggap bisa baca tulis ternyata sudah menggganggu lingkungan dan membodohi kelompoknya sehingga dianggap jahat.
“Salahku, dulu awal datang, aku berpakaian berbeda dengan mereka,” kisah Butet. Berpakaian tak sama menjadikan Butet pusat perhatian dan sekaligus jadi yang dicurigai. Namun perlahan-lahan, tentunya dengan usaha, doa dan kesabaran mereka mulai membuka diri untuk belajar. Butet tidak keberatan untuk mempelajari bahasa dan kebiasaan adat setempat. Sekolah formal pun mereka anggap sebagai sekolah pergi.
Lantaran tak dimaksudkan untuk belajar secara formal, mereka tak meneruskan sekolah ke jenjang berikutnya. “Mereka lebih memiliki paket belajar A,B,C, lalu ikut kursus,” lanjut Butet. Hal itu dianggap praktis, bisa langsung diterapkan, dan bisa jadi solusi permasalahan mereka.
“Mereka malah merasa heran, kok orang seperti kita sekolah lama-lama dan banyak yang dipelajari,” Pelajaran seperti planet, yang tak ada hubungan dengan keseharian, dianggap buang-buang waktu.
“Bahkan mereka mengatakan, kenapa tidak langsung saja kuliah setelah ikut paket A, B, C,” kata Butet sambil terkekeh. Yang menurutnya lebih lucu lagi, saat terjadi gempa, kebanyakan kita biasanya panik dan lari ketakutan, orang rimba hanya rebah sambil berteriak, “Tuhan saya ada!”
“Ternyata menurut mereka, Tuhan mengabsen mahluknya saat gempa terjadi, karena hewan pun bersuara nyaring,” tawa Butet pun pecah tak mampu menyembunyikan rasa gelinya.
Tentang Penghargaan
Sudah banyak penghargaan yang diraih seorang Butet, mulai skala nasional sampai internasional. Sebut saja penghargaan “Man and Biospher” dari UNESCO dan LIPI pada 2001 dan menjadi salah satu pahlawan versi majalah Time pada 2004 dengan mengabadikannya sebagai cover eksklusif majalah tersebut. Dari negara tetangga, Filipina, Butet menyabet penghargaan Magsaysay Award pada tahun 2014 lalu.
“Penghargaan yang diterima secara personal malah membebani,” aku Butet. Bagaimana jika setelahnya malah tidak bertambah bagus (programnya). Dirinya pun jadi bertanya-tanya apakah yang sudah dilakukannya itu benar-benar sudah berhasil sesuai harapan.
Secara pribadi Butet malah merasa jengah dihargai seperti itu. Karena menurutnya mendapat penghargaan tadi bukanlah keinginannya. Butet lebih senang tetap berada di hutan, jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Namun, karena tuntutan founder yang harus terkoneksi dengan berbagai pihak seperti dengan fundraiser, atau diundang sebagai pembicara, maka ia mengalah tinggal di kota dan menjadi sorotan. Ia merasa populer tapi juga malah jadi lebih terbebani.
“Ada penghargaan atau tidak, tetap tak berpengaruh terhadap program,” tegas Butet. Programnya tetap diupayakan berjalan ada atau tanpa penghargaan.
Tentang Kebutuhan Donasi
Selama ini banyak anggapan bahwa Sokola Rimba tak kekurangan dana karena popularitasnya. “Kita masih tetap kekurangan dana, karena personelnya lebih banyak orang-orang lapangan yang belum paham mencari dan mengelola dana,” beber Butet. Bukan satu dua kali, dirinya dan tim tergopoh-gopoh mencari dana saat tahu keuangan operasional mereka kian menipis. Hal ini tentu saja berpengaruh pada kelanjutan program. Tak jarang program pun jadi berhenti karena nir dana.
“Kondisi tersebut menjadikan Sokola Rimba tidak sustainable,” keluh Butet. Karena itu pada hari jadi ke 15 tahun 2018 kemarin, Sokola Rimba mulai berbenah secara internal. Mulai ada orang-orang yang bisa mengelola dana secara lebih rapih dan tertib.
Meskipun bukan sekolah formal yang programnya terikat dengan waktu, Butet menyayangkan soal budget yang mengganggu program. “Kita berkejaran dengan ancaman perusakan hutan yang mengancam keberadaan suku tersebut,”kata Butet.
Butet tidak menampik apabila ada pihak yang ingin membantu Sokola Rimba melalui donasi. Perushaaan atau perseorangan bisa menyampaikan bantuannya. Tapi di pihak lain, dirinya perlu juga memilah dan memilih pihak mana yang layak diterima donasinya. Butet tak mau bila sumbangan dari pihak tersebut ada kepentingan lain di baliknya.
“Donatur harus bervisi sama dengan kami,” tegas Butet. Karena dengan kesamaan visi, maka donasi yang diberikan pun akan disepakati tujuan penyalurannya. Tak sedikit perusahaan, lembaga, perseorangan yang menawarkan sejumlah bantuan. Namun kembali lagi, bila tak sevisi, Butet tak mau bila sumbangan tersebut kelak malah jadi masalah buat programnya. Bila diketahui suku pedalaman bahwa yang membantu mereka adalah yang justru merusak tatanan eksosistem mereka, kepercayaan mereka pun niscaya hilang.
Tentang Bantuan Pemerintah
Butet masih berharap Pemerintah akan lebih memperhatikan pendidikan suku pedalaman. Selama ini Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah diajak berdialog.
“Kami sudah 3 tahun ini justru membantu pemerintah,”aku Butet. Kemendikbud tengah menyusun kurikulum pelajaran untuk masyarakat adat dan salah satu konsultannya adalah Sokola Rimba. Bantuan pemerintah selama ini belum ada. “Karena yang mereka bisa bantu hanya dana, dan dananya tidak ada,” ungkap Butet. Ada satu pemahaman yang tidak semuanya tepat (termasuk pemerintah), bahwa setiap anak di bawah 15 tahun harus masuk sekolah formal (berkenaan dengan program wajib belajar). Padahal, bagi masyarakat adat, sangat tidak mungkin untuk meninggalkan lingkungannya.
“Pendidikan formal membuat mereka harus meninggalkan hutan, jalan kaki empat hari ke kota,”protes Butet. Jika tinggal di luar hutan, anak-anak tersebut tercerai dari orang tua dan kehidupan lingkungan. Akibatnya, ilmu kearifan lokal dari orang tua mereka tak bisa diajarkan. Padahal, ilmu tersebut sangat diperlukan untuk bertahan hidup di dalam hutan. Setelah tamat sekolah, bukan tidak mungkin mereka mengkritik lingkungan asalnya karena dianggap kuno atau terbelakang.
“Karena itu tidak jarang masyarakat adat melabeli sekolah formal sebagai sekolah pergi. Karena mengajarkan anak-anaknya untuk pergi dari lingkungan asal,”beber Butet. Dengan begitu, hilanglah akar budaya anak-anak tersebut. Butet berharap ada kurikulum yang benar-benar sesuai untuk anak-anak adat, tanpa mengharuskan mereka meninggalkan hutan.
“Perlu bagi pemerintah untuk melihat langsung kondisi di lokasi,”usul Butet. Sehingga pemerintah memahami bahwa kurikulum sekolah formal tidak tepat di sana.
Tentang Suku Pedalaman
Setiap suku pedalaman di Indonesia punya keunikan masing-masing. Alhasil, tenaga pengajar pun perlu disesuaikan dengan keunikan tersebut.
“Jika tenaga pengajarnya paham dan tak masalah dengan keunikan lokal, dia bakal enjoy menjalani pekerjaannya,”cetus Butet. Tidak semua orang cocok dengan keunikan yang ada. Contohnya bila di suku tersebut terjadi budaya incest, ayah menikahi anak, akan dicarikan tenaga pengajar yang tak jengah dengan budaya itu.
Lain lagi dengan masyarakat pedalaman yang tinggal dekat perairan. Mereka biasanya bermasalah dengan bom ikan. Awalnya mereka senang ada yang pasang bom ikan, menangkap ikan jadi jauh lebih mudah. Tapi lama-lama ikan-ikan sebagai sumber makanan jadi hilang. Sehingga setelah paham bahayanya, mereka akan mengejar orang-orang yang mencoba memasang bom itu. Mereka pun diajari membuat terumbu karang sehingga ikan-ikan kembali datang.
Anak pedalaman biasanya punya sekolah sendiri. “Pelajaran untuk anak TK versi mereka seperti menangkap belalang, untuk tingkatan seterusnya mengambil madu dari pohon,” kisah Butet. Itu belum pada tingkatan-tingkatan lanjut seperti berburu, bercocok tanam, dan lain-lain.
Tak seperti dugaan selama ini, orang-orang adat justru sangat kritis. Saat mereka mulai keluar dari rumah, sikap kritis sudah dilakukan. Mereka akan mengawasi situasi sekeliling. Saat menghadapi bahaya seperti ancaman binatang buas, mereka bakal tahu, apa yang harus segera dilakukan. Perangkap apa yang dipasang, lewat mana binatang itu akan kembali. Sikap kritis ini sudah menjadi keseharian mereka. Karena hal ini juga merupakan tuntutan hidup di alam liar.
Bagaimana mereka menghadapi serangan beruang. “Semua ilmu survival itu sudah mereka kuasai, yang mana orang modern belum tentu bisa,”kata Butet menegaskan.
“Orang pedalaman itu merupakan orang pilihan. Karena dari sekian sering seorang ibu melahirkan, lebih banyak yang meninggal. Sehingga orang-orang yang hidup (diantara mereka) adalah yang terkuat karena terseleksi secara alam,”papar Butet. Mereka kritis, pintar dan kuat, dan alasan inilah yang bikin mereka bertahan hidup, tambah Butet.
“Aku belajar banyak dari mereka,”aku Butet. “Bagi mereka semakin sedikit yang dipunya justru semakin lengkap”. Maksudnya, dengan semakin sedikit yang dimiliki maka akan lebih dirasa bahagia.
“Aku pernah sedih karena kehilangan Walkman,” cerita Butet. Raut kesedihan itu rupanya terlihat oleh anak-anak yang diajar. Dengan polosnya, kata Butet, mereka bertanya, “Kalau Walkman hilang, Ibu tidak bahagia, ya.” Seketika itu Butet tersadar kebahagiaan terlalu murah jika dinilai sebatas perangkat Walkman.
Hal lain yang membuktikan suku pedalaman itu pintar adalah soal obat-obatan. Mereka ternyata punya obat-obatan alami yang bisa mengobati beragam penyakit. Belum lagi mantra-mantranya, kata Butet, yang membuat binatang bahaya dan liar jadi seolah menurut. Orang pedalam pun sangat piawai menghadapi bencana kebakaran.
Tentang Harapan
Organisasi Sokola Rimba yang dibangunnya butuh disempurnakan. Salahsatunya mengorganisir kembali Sokola Rimba secara lebih rapih. Selama ini, penggiat Sokola Rimba adalah orang-orang lapangan yang kurang cakap mengatur organisasi, termasuk mengatur keuangan dan fund raising.
“Sokola Rimba sudah 15 tahun berdiri, sudah saatnya ada pembenahan internal agar sustainable,” harap Butet.
Selain itu, Butet berharap penyebaran Sokola Rimba yang lebih merata secara geografis. Pihaknya belum punya sokola yang berada di tepi batas luar pulau Indonesia seperti perbatasan Papua. Kaderisasi pun tak lupa dipikirkan. Sokola Rimba didirikan oleh lima orang, namun kapabilitas ilmu orang-orang baru belum mampu menyamai para pendirinya.
Pada 2019, Sokola Rimba berencana menyusun buku yang kelak jadi panduan/rujukan bagi siapapun yang berniat membuka sekolah yang sama.