Jakarta – Majalahcsr. Indonesia mengadopsi 17 point Sustainable Development Goals (SDGs). Peraturan presiden No.59/2017 mengenai pelaksanaan tujuan pembangunan berkelanjutan/SDGs sudah ditandatangani pada 14 Juli 2017 lalu.
BAZNAS (Badan Amil Zakat) dan FI (Filantropi Indonesia) menggandeng ulama, pegiat zakat, akademisi dan para pegiat filantropi di Indonesia untuk menginisiasi perumusan Fiqih Zakat on SDGs. Fiqih ini akan menjadi legitimasi teologis yang jelas mengenai penggalangan, pengelolaan dan pendayagunaan zakat untuk mendukung program-program terkait SDGs.
Timotheus Lesmana mengatakan bahwa hal ini merupakan rangkaian kegiatan saat Baznaz Filantropi Festival yang kedua belah pihak setuju untuk mengusung SGDs untuk kesejahteraan umat. SDGs menurutnya adalah sarana masyarakat untuk berpartisipasi juga sebagai salah satu potensi untuk membantu pembangunan di Indonesia.
“Setelah Fiqih, FI, Baznaz akan menyusun rencana aksi nasional tentang zakat,” ujarnya dalam acara Philanthropy Learning Forum 18 dengan tema Merumuskan Fiqih Zakat on SDGs di Kantor Kementerian Agama, Rabu (26/7).
Anggota BAZNAS KH. Masdar Farid Masudi mengatakan, BAZNAS meyakini peran zakat menjadi hal yang strategis dalam mendorong pelaksanaan SDGs di berbagai belahan dunia khususnya dunia islam. Dari ke-17 point SDGs, secara garis besar gerakan zakat berfokus pada 11 isu yaitu pemberantasan kemiskinan, menghapusan kelaparan, peningkatan kualitas kesehatan, pemberian pendidikan yang layak, kesetaraan gender, air bersih dan sanitasi, energi, pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan, perubahan iklim, dan kemitraan.
Namun dari Rp217 triliun potensi zakat per tahun di Indonesia, baru 2-3% atau baru Rp5-6 triliun yang terhimpun. KH. Masdar pun memberikan usulan bagaimana caranya agar zakat ini bisa dipungut dan tidak hanya menunggu orang untuk membayar zakat.
“Jumlah 2,5% zakat yang wajib dibayarkan, harus dipertanyakan. Padahal di agama lain 10% pun mau membayar,” ujarnya.
Untuk mengoptimalkan pelaksanaannya, perlu diatur garis-garis acuan yang mendukung pembangunan global namun tetap berada pada koridor syariah. Dalam kontribusi zakat untuk tujuan pembangunan global, menurutnya perlu dibangun jembatan yang menghubungkan fiqih pemberdayaan zakat yang dikembangkan berdasarkan asnaf dengan gagasan pembangunan yang dikembangkan oleh SDGs.
Suzanty Sitorus, Sekretaris Badan Pengurus Filantropi Indonesia, mengatakan bahwa potensi zakat untuk menyukseskan SDGs di Indonesia sangat besar, mengingat mayoritas warganya adalah umat Islam dengan tingkat kesadaran berzakat yang cukup tinggi. “Potensi zakat indonesia juga cukup besar, diperkirakan Rp 200 triliun, meski realisasi penggalangannya secara terorganisir baru mencapai Rp 5 triliun per tahun,” katanya.
Untuk mengembangkan potensi zakat ini, secara khusus, pemerintah mendirikan lembaga nonstruktural bernama Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang diberikan wewenang untuk melakukan pengelolan zakat secara nasional. Pemerintah juga mendorong dan memfasilitasi keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan zakat melalui Lembaga Amil Zakat (LAZIS).
“Zakat dan SDGs akan dapat bersenergi karena keduanya memiliki tujuan yang sama. Pemerintah dan ulama juga juga mendukung pendayagunaan zakat untuk mendukung pencapaian SDGs. Hal ini tergambar dari salah satu fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) yang menyatakan bahwa harta zakat, infaq, sedekah, dan wakaf dapat didayagunakan untuk pembangunan sarana air bersih dan sanitasi, sebagai salah satu tujuan SDGs,” katanya.
Agar zakat bisa berperan optimal dalam penguatan SDGs, Suzanty memandang perlunya dukungan atau legitimasi teologis dalam bentuk fatwa yang jelas mengenai boleh tidaknya penggalangan dan pendayagunaan zakat untuk mendukung program-program terkait SDGs.
Fatwa tersebut diperlukan mengingat Zakat merupakan salah satu bentuk sumbangan keagamaan yang penggalangan, pengelolaannya dan pendayagunaannya diatur secara secara khusus dalam fiqih zakat. Dibanding jenis sumbangan lainnya, zakat juga punya beberapa kekhususan dan keterbatasan. Proses, mekanisme dan tahapan penggalangan, pengelolaan dan pendayagunaan zakat diatur dalam fiqih zakat.
“Di sinilah muncul tantangan terkait dengan prinsip SDGs yang sifatnya inklusif dan program-program SDGs yang secara eksplisit tidak disebut dalam fiqih zakat,” katanya.
Tantangan lainnya adalah bagaimana memberikan justifikasi saat mempromosikan program-program SDGs ini kepada muzaki (pembayar zakat) agar mereka bersedia menyalurkan zakatnya untuk mendukung program-program tersebut. Tantangan dan persoalan persoalan tersebut dapat diatasi dengan perumusan Fikih Zakat on SDGs yang melibatkan ulama dan penggiat zakat.
Ketua Komisi Fatwa MUI, Prof. Dr. Hasanuddin Abdul Fatah mengatakan zakat mempunnyai dua aspek, yaitu aspek ibadah dan aspek muamalah. Aspek muamalah atau sosial ekonomi ini bisa dilakukan sesuai perkembangan zaman asal tidak melanggar Al-Qur’an.
Zakat sendiri dalam sejarahnya merupakan sumber pendapatan negara. Dosen UIN Syarif Hidayatullah, M Maksum mengatakan bahwa fikih zakat on SDGs seharusnya dibuat paradigma, mulai dari penghimpunan, pengadministrasian dan pendayagunaan sehingga zakat bisa mendukung SDGs.
Selain itu, Maksum juga menanggapi banyak pertanyaan apakah zakat bisa diberikan untuk non muslim. Dengan tegas dirinya mengatakan bahwa hal itu boleh. “Nabi Muhammad SAW pernah memberikan zakat kepada mualaf non muslim,” jelasnya.